Senin, 30 Januari 2012

Kecerdasan Berbeda, Gaya Belajar Berbeda, mereka disamakan?

Konon di dunia binatang telah berlangsung musyawarah diantara binatang besar dibawah pimpinan raja rimba Singa. Mereka membicarakan rencana untuk mendirikan sekolah bagi para binatang kecil yang di dalamnya akan diajarkan mata pelajaran memanjat, terbang, berlari, berenang, dan menggali. Namun dalam musyawarah mereka tidak sepakat tentang subjek mana yang paling penting. Mereka akhirnya memutuskan agar semua murid mengikuti seluruh mata pelajaran yang diajarkan. Jadi, setiap murid harus belajar memanjat, terbang, berlari, menggali dan berenang.

Pada saat sekolah dibuka, para binatang kecil dari seluruh pelosok hutan sangat antusias untuk bersekolah. Seluruh murid bergairah menikmati segala kebaruan dan keceriaan. Sampai tibalah suatu hari yang mengubah keadaan sekolah itu.

Satu murid yang bernama kelinci sangat piawai berlari, namun ketika mengikuti kelas berenang dia hampir tenggelam. Dia berusaha untuk belajar berenang, namun selalu gagal, sehingga mengguncang batinnya. Karena sibuk belajar berenang, si Kelincipun tak pernah dapat lagi berlari secepat sebelumnya.

Pada saat yang sama, murid lain yang bernama Elang mengalami kesulitan dalam pelajaran menggali. Elang yang terkenal pandai terbang, selalu gagal dalam pelajaran menggali, sehingga dia harus mengikuti les pelajaran menggali. Les itu menyita waktu sehingga ia melupakan cara terbang yang sebelumnya sangat ia kuasai.

Setiap hari kesulitan-kesulitan muncul dan melanda para binatang siswa sekolah. Setiap siswa sibuk memperbaiki pelajaran yang tidak ia kuasai sehingga mereka tidak punya kesempatan lagi untuk beprestasi dalam bidang keahlian mereka masing-masing. Hal ini terjadi karena sekolah tidak menghargai sifat alami mereka.

Dongeng di atas dikutip dari pengantar buku Sekolah Para Juara karya Thomas Amstrong (2000). Thomas Amstrong adalah pakar dan praktisi Kecerdasan Majemuk (Multiple Intellegencesi) yang ditemukan oleh Howard Gardner. Amstrong mengilustrasikan kemajemukan potensi setiap orang seperti kecerdasan alami yang dimiliki para binatang.

Menurut Gardner setiap orang berbeda karena memiliki kombinasi kecedasan yang berlainan (1987). Lebih lanjut Gardner mengatakan bahwa kita cenderung hanya menghargai orang-orang yang memang ahli di dalam kemampuan logis-matematis dan bahasa. Apresiasi sekolah diberikan kepada mereka yang memiliki kombinasi kemampuan itu dengan memberi label: murid pandai, bintang pelajar, juara kelas dan ranking tinggi pada setiap pembagian buku raport. Sementara untuk orang-orang yang memiliki talenta (gift) di dalam kecerdasan yang lainnya seperti artis, arsitek, musikus, ahli alam, designer, penari, terapis, entrepreneurs, dan lain-lain kurang mendapat perhatian. Jarang sekali sekolah yang memberikan penghargaan pada siswa yang memiliki kemampuan misalnya olah raga, kepemimpinan, pelukis dan lain-lain. Saat ini banyak anak-anak yang memiliki talenta (gift), tidak mendapatkan reinforcement di sekolahnya. Banyak sekali anak yang pada kenyataannya dianggap sebagai anak yang “Learning Disabled” atau ADD (Attention Deficit Disorder), atau Underachiever, pada saat pola pemikiran mereka yang unik tidak dapat diakomodasi oleh sekolah. Pihak sekolah hanya menekankan pada kemampuan logis-matematis dan bahasa.

Gardner (1983) mengenalkan Teori Multiple Intelligences yang menyatakan bahwa kecerdasan meliputi delapan kemampuan intelektual. Teori tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa kemampuan intelektual yang diukur melalui tes IQ sangatlah terbatas karena tes IQ hanya menekan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Padahal setiap orang mempunyai cara yang unik untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Kecerdasan bukan hanya dilihat dari nilai yang diperoleh seseorang. Kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang lain.

Ada beberapa macam kecerdasan yang diungkapkan oleh Gardner (1983)

yaitu:

Linguistic Intelligence (Word Smart)

Pandai berbicara, gemar bercerita, dengan tekun mendengarkan cerita atau

membaca merupakan tanda anak yang memiliki kecerdasan linguistik yang menonjol. Kecerdasan ini menuntut kemampuan anak untuk menyimpan berbagai informasi yang berarti berkaitan dengan proses berpikirnya.

Logical – Mathematical Intelligence (Number / Reasoning Smart)

Anak-anak dengan kecerdasan logical–mathematical yang tinggi memperlihatkan minat yang besar terhadap kegiatan eksplorasi. Mereka sering bertanya tentang berbagai fenomena yang dilihatnya. Mereka menuntut penjelasan logis dari setiap pertanyaan. Selain itu mereka juga suka mengklasifikasikan benda dan senang berhitung.

Visual – Spatial Intelligence (Picture Smart)

Anak-anak dengan kecerdasan visual – spatial yang tinggi cenderung berpikir

secara visual. Mereka kaya dengan khayalan internal (internal imagery), sehingga cenderung imaginatif dan kreatif.

Bodily – Kinesthetic Intelligence (Body Smart)

Anak-anak dengan kecerdasan bodily – kinesthetic di atas rata-rata, senang

bergerak dan menyentuh. Mereka memiliki kontrol pada gerakan, keseimbangan, ketangkasan, dan keanggunan dalam bergerak. Mereka mengeksplorasi dunia dengan otot-ototnya.

Musical Intelligence (Music Smart)

Anak dengan kecerdasan musical yang menonjol mudah mengenali dan

mengingat nada-nada. Ia juga dapat mentranformasikan kata-kata menjadi lagu, dan menciptakan berbagai permainan musik. Mereka pintar melantunkan beat lagu dengan baik dan benar. Mereka pandai menggunakan kosakata musical, dan peka terhadap ritme, ketukan, melodi atau warna suara dalam sebuah komposisi musik.

Interpersonal Intelligence (People Smart)

Anak dengan kecerdasan interpersonal yang menonjol memiliki interaksi yang

baik dengan orang lain, pintar menjalin hubungan sosial, serta mampu mengetahui dan menggunakan beragam cara saat berinteraksi. Mereka juga mampu merasakan perasaan, pikiran, tingkah laku dan harapan orang lain, serta mampu bekerja sama denganm orang lain.

Intra personal Intelligence (Self Smart)

Anak dengan kecerdasan intra personal yang menonjol memiliki kepekaan

perasaan dalam situasi yang tengah berlangsung, memahami diri sendiri, dan mampu mengendalikan diri dalam situasi konflik. Ia juga mengetahui apa yang dapat dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan dalam lingkungan sosial. Mereka mengetahui kepada siapa harus meminta bantuan saat memerlukan.

Naturalist Intelligence (Nature Smart)

Anak-anak dengan kecerdasan naturalist yang menonjol memiliki ketertarikan

yang besar terhadap alam sekitar, termasuk pada binatang, di usia yang sangat dini. Mereka menikmati benda-benda dan cerita yang berkaitan dengan fenomena alam, misalnya terjadinya awan dan hujan, asal usul binatang, pertumbuhan tanaman, dan tata surya.

Tahun 1999 Gardner menemukan jenis kecerdasan baru, kecerdasan kesembilan dalam teorinya, yang ia namakan Existence Intelligence Anak yang memiliki kecerdasan ini memiliki ciri-ciri yaitu cenderung bersikapmempertanyakan segala sesuatu mengenai keberadaan manusia, artikehidupan, mengapa manusia mengalami kematian, dan realitas yangdihadapinya.

Temuan Gardner menuntut semua orang untuk mengevaluasi kembali ”Paradigma Pendidikan” yang diyakininya selama ini, khususnya dalam memandang kecerdasan seorang siswa dan proses pembelajaran yang harus dilakukan. Kita tidak dapat lagi memandang kecerdasan seseorang hanya dari satu atau dua jenis kecerdasan dan menafikan kecerdasan yang lain. Kita tidak dapat lagi mengklasifikasikan seorang siswa sebagai siswa cerdas dan siswa bodoh. Menurut Renee Fuller dalam Gordon Dryden (2000) jika kita ngotot ingin melihat kecerdasan dengan kacamata filter tunggal, banyak kecerdasan akan terselubung sama sekali. Setiap anak secara potensial pasti berbakat tetapi ia mewujudkan dengan cara yang berbeda-beda.

Selain kecerdasan, setiap orangpun mempunyai gaya belajar, bekerja dan karakter yang unik. Pakar psikiatri Carl Jung pada tahun 1921 telah memetakan tipe orang berdasarkan cara pandangnya. Dia mengklasifikasikan menjadi empat tipe: perasa (feeler), pemikir (thinker), pelakon (sensor), dan yang mengandalkan intuisi (intuitor). (Dryden: 2000). Sementara Lloyd Geering mengklasifikasikannya menjadi: Pemikir ekstrovert, Pemikir introvert, Perasa ekstrovert, Perasa introvert, Pelakon ekstrovert, Pelakon Introvert, Intuitif ekstrovert, dan Intuitif introvert. (Dryden: 2000).

Prof. Ken dan Rita Dunn dari Univ. St. Johns, New York dalam penelitiannya tentang bagaimana seseorang menyerap informasi menyimpulkan tiga gaya belajar yaitu: Visual, Auditorial dan Kinestetik. Meskipun kebanyakan orang memiliki akses ke ketiga gaya visual, auditorial, dan kinestetik, hampir semua orang cenderung pada salah satu gaya belajar (Bandler dan Grindler, 1981) yang berperan sebagai saringan untuk pembelajaran, pemrosesan, dan komunikasi.

Gaya visual mengakses citra visual, yang diciptakan maupun diingat. Seseorang dengan gaya visual memiliki ciri sebagai berikut :

Teratur, memperhatikan segala sesuatu, menjaga penampilan
Mengingat dengangambar, lebih suka membaca dari pada dibacakan
Membutuhkan gambaran dan tujuan menyeluruh dan menangkap detail: mengingat apa yang dilihat.

Gaya Auditorial mengakses segala jenis bunyi dan kata diciptakan dan diingat. Ciri-ciri yang bergaya auditorial adalah:

Perhatiannya mudah terpecah
Berbicara dengan pola berirama
Belajar dengan cara mendengarkan, menggerakan bibir/bersuara saat membaca
Berdialog secara internal dan eksternal

Gaya kinestetik mengakses segala jenis gerak dan emosi-diciptakan maupun diingat. Seseorang yang bergaya kinestetik mempunyai ciri-ciri:

Menyentuh orang dan berdiri berdekatan, banyak bergerak
Belajar dengan melakukan, menunjuk tulisan saat membaca, menanggapi secara fisik
Mengingat sambil berjalan dan melihat.

(Booby dePorter, 1999)

Menurut penelitian Dunn pelajar jenis kinestetis paling mengalami kesulitan di sekolah-sekolah tradisional. Sebagian besar mereka mengalami kegagalan dalam belajar karena sekolah-sekolah tradisional tidak mengakomodasi gaya belajar mereka. Sekolah tradisional pada umumnya melaksanakan proses pembelajaran secara visual dan auditorial, sementara pelajar kinestetik membutuhkan gerak, menyentuh, atau bertindak sehingga mereka merasa tidak terlibat, ditinggalkan dan bosan. Mereka tidak tahan duduk berjam-jam hanya untuk mendengarkan. Sebagian besar gurupun tidak memahami gaya alami mereka, sehingga mereka sering dicap siswa nakal, bermasalah, kesulitan belajar. Di dalam kelas mereka sering mendapat teguran dan kena marah guru karena dianggap tidak mau memperhatikan. Ketika mereka berusaha untuk mengikuti pelajaran dengan mencatat setiap kalimat yang diucapkan guru saat menjelaskan, mereka sering kena tegur karena dianggap tidak memperhatikan. Sebagian besar guru menginginkan siswanya duduk manis menyimak yang dia katakan saat menjelaskan.

Fenomena saat ini banyak sekolah yang memanfaatkan LKS (lebih tepat kumpulan soal, karena sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai LKS), sangat menguntungkan siswa-siswa dengan gaya visual tetapi siswa-siswa gaya auditorial sangat tersiksa, sulit mengikuti pelajaran. Karena alasan itulah saya terpaksa memindahkan anak saya yang duduk di kelas II SD negeri menjadi turun kembali ke kelas I, ke Sekolah Alam Tangerang, sebuah sekolah yang mengakomodasi semua gaya belajar. Anak saya gaya belajar dominannya Auditorial, namun di sekolahnya setiap hari hanya mengerjakan LKS sehingga dia tertekan dan kalau dibiarkan bisa mengalami Shutdown Learning (kebuntuan belajar), dan ini sangat fatal untuk masa depan belajrnya.

Menurut Dryden ketidak sesuaian gaya sekolah dalam proses pembelajaran dengan gaya belajar siswanya telah menyebabkan kegagalan pada banyak anak dan menjadi penyebab terbesar kegagalan sekolah. Cara pandang sekolah yang mengasumsikan bahwa setiap siswa mempunyai gaya belajar yang sama dan mengklasifikasikan siswa sebagai siswa pintar dan siswa bodoh telah mengingkari fitrah kemanusiaan yang sesungguhnya dan menjerumuskansebagian siswa pada kegagalan. Oleh karena itu merupakan kewajiban sekolah, guru dan orangtua untuk menemukan gaya belajar siswanya, menemukan jenis-jenis kecerdasannya dan mengakomodasi keragaman tersebut dalam proses pembelajaran serta mendorong seluruh kemampuan potensial mereka.

Kebijakan pemerintah dengan memberlakukan kurikulum satuan pendidikan (KTSP), sebelumnyanya Kurikulim Berbasis Kompetensi (KBK), merupakan suatu kesadaran dari pemerintah akan keragaman siswa. Secara konsep dalam KTSP keunikan gaya belajar setiap siswa dan keragaman kecerdasan sangat memungkinkan untuk diakomodasi. Namun pada tataran implementasi sangat sulit untuk diimplementasikan karena terdapat hambatan-hambatan baik struktural maupun kultural. Hambatan struktural tingkat pusat adalah masih dipertahankannya kebijakan UN dalam KTSP dan di daerah masih banyak yang melaksanakan Ulangan Umum Bersama. Untuk menerapkan Kecerdasan Majemuk dibutuhkan sistem evaluasi belajar tersendiri yang sesuai dengan kecerdasan alami siswa, bukan seperti Uan dan Ulangan Umum Bersama. Hambatan kultural muncul dari sikap guru dan sekolah yang malas untuk berubah dan stagnan, alergi dengan pembaharuan serta malas berinovasi. Sementara untuk melayani gaya belajar yang berbeda dan mengoptimalkan kecerdasan setiap siswa dibutuhkan metoda pembelajaran yang berbeda dari metoda pembelajaran yang banyak digunakan saat ini. Dibutuhkan inovasi-inovasi dalam metoda dan strategi pembelajaran sehingga seluruh keunikan siswa terlayani. Ini membutuhkan kerja keras dan keikhlasan!

Contoh kasus adalah bagaimana seorang Hellen Keller yang cacat buta dan bisu dapat menjadi seorang yang hebat, sesuatu yang tidak mungkin kalau belajar hanya mengandalkan satu kecerdasan saja.

Daftar Pustaka:

Thomas Amstrong, Sekolah Para Juara, Kaifa: 2000.
Gordon Dryden & Jeannette Bvos, Revolusi Cara Belajar , Kaifa: 1999
Linda Campbell dkk., Pembelajaran Berbasis Multi Intelegensi., Intuisi Press: 2004
Bobbi DePorter dkk., Quantum Teaching., Kaifa: 1999

sumber: http://psb-psma.org

Selasa, 17 Januari 2012

Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dan Global

“Jakarta punya monorail” … Bali ada Balifornia … Ternate ada gunung Gamalama … Manado ada Bunaken … Papua ada burung Kasuari, berjuta mineral dalam buminya.

Bagaimana pendidikan di wilayah yang memiliki keunggulan lokal bahkan mampu bersaing secara global, apakah anak sekolah di Jakarta tahu dan bisa optimalkan potensi Jakarta … atau bahkan tak peduli tentang keunggulannya …. silahkan simak sedikit tumpahan workshop bersama Puskur Balitbang Depdiknas RI

Sejak tahun 1998, terjadi perubahan yang sangat mendasar terhadap semua aspek kehidupan Bangsa Indonesia. Perubahan itu disebabkan oleh perubahan politik dan tata pemerintahan yang semula bersifat sentralistik menjadi desentralistik. Dalam pemerintahan sentralistik, hampir semua kebijakan penting dan kendali pemerintahan dilakukan oleh pemerintah pusat. Pemerintah Daerah, propinsi dan kabupaten/kota menjadi pelaksana dari kebijakan pemerintah pusat, Jakarta. Pada saat ini fungsi dan wewenang pemerintah daerah lebih besar dalam membuat kebijakan dan melaksanakannnya sesuai dengan variasi potensi, dan kepentingan pengembangan daerahnya masing-masing.

Salah satu desentralisasi pendidikan adalah desentralisasi kurikulum. Pemerintah, c.q. Departemen Pendidikan Nasional hanya menentukan standar-standar minimal yang harus dipenuhi oleh satuan pendidikan di tingkat daerah. Standar minimal itu berupa standar kompetensi lulusan, standar isi, standar evaluasi, dan standar sarana dan prasarana. Pengembangan lebih jauh terhadap standar-standar tersebut diserahkan kepada daerah masing-masing. Dengan adanya desentralisasi kebijakan itu, maka daerah dapat mengembangkan potensi wilayahnya sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Salah satu kebijakan yang dapat dikembangkan adalah membuat kurikulum sekolah yang berbasis keunggulan lokal dan global.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas sudah diatur bahwa pelaksanaan pendidikan di luar kewenangan pemerintah pusat dan harus dilakukan di daerah. Oleh karena itu pengembangan kurikulum sebagai salah satu substansi utama dalam pengembangan pendidikan perlu di desentralisasikan, terutama kebutuhan siswa, keadaan sekolah dan kondisi daerah. Dengan demikian daerah atau sekolah memiliki cukup kewenangan untuk merancang dan menentukan hal-hal yang akan diajarkan. Sehubungan dengan kondisi daerah dan potensi daerah di Indonesia yang cukup beragam, maka daerah perlu menggali, meningkatkan dan mempromosikan potensinya melalui pendidikan di sekolah.

Masing-masing daerah mempunyai keunggulan potensi daerah yang perlu dikembangkan yang lebih baik lagi. Keunggulan yang dimiliki oleh masing-masing daerah sangat bervariasi. Dengan kebergaman potensi daerah ini pengembangan potensi dan keunggulan daerah perlu mendapatkan perhatian secara khusus bagi pemerintah daerah sehingga anak-anak tidak. Sehingga anak-anak daerah tidak asing dengan daerahnya sendiri dan faham betul tentang potensi dan nilai-nilai serta budaya daerahnya sendiri, sehingga anak-anak dapat mengembangkan dan memberdayakan potensi daerahnya sesuai dengan tuntutan ekonomi global yang telah disepakati oleh pemerintah Indonesia. Diharapkan dengan ekonomi global tersebut, masing-masing daerah ingin berlomba bersaing dengan negara lain untuk memasarkan keunggulan daerahnya sendiri.

PENGERTIAN

Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global adalah pendidikan yang memanfaatkan keunggulan lokal dan global dalam aspek ekonomi, seni budaya, SDM, bahasa, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain ke dalam kurikulum sekolah yang akhirnya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik yang dapat dimanfaatkan untuk persaingan global.

Keunggulan lokal adalah hasil bumi, kreasi seni, tradisi, budaya, pelayanan, jasa, sumber daya alam, sumber daya manusia atau lainnya yang menjadi keunggulan suatu daerah.

Keunggulan yang dimiliki suatu daerah dapat lebih memberdayakan penduduknya sehingga mampu meningkatkan pendapatan atau meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Karena manfaat dan pendapatan yang diperoleh menjadikan penduduk daerah tersebut berupaya untuk melindungi, melestarikan dan meningkatkan kualitas keunggulan lokal yang dimiliki daerahnya sehingga bermanfaat bagi penduduk daerah setempat serta mampu mendorong persaingan secara kompetitif pada tingkat nasional maupun global. Dengan memberdayakan keunggulan lokal dan global dapat menjawab permasalahan yang ada, antara lain :

a. Keunggulan lokal dan global apa yang dapat dikembangkan

b. Adakah manfaatnya bagi masyarakat

c. Bagaimana cara mengembangkannya

d. Bagaimana cara pembelajarannya yang efektif dan efesien

e. Infrastruktur apa yang diperlukan

f. Berapa lama pembelajaran keunggulan lokal dan global dilaksanakan

TUJUAN

Tujuan penyelenggaraan pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global adalah agar siswa mengetahui keunggulan lokal daerah dimana dia tinggal, memahami berbagai aspek yang berhubungan dengan keunggulan lokal daerah tersebut, selanjutnya siswa mampu mengolah sumber daya, terlibat dalam pelayanan / jasa atau kegiatan lain yang berkaitan dengan keunggulan lokal sehingga memperoleh pendapatan dan melestarikan budaya / tradisi / sumber daya yang menjadi ungulan daerah serta mampu bersaing secara nasional maupun global.

Supaya keunggulan yang dimiliki daerah dapat dipahami siswa dan keunggulan daerah dapat menyejahterakan masyarakatnya diharapkan keunggulan daerah dapat menjadi kebanggaan bagi masyarakat pada umumnya.

Sehingga masyarakat dapat menjaga kelestarian potensi daerahnya dan dapat memanfaatkan potensi daerahnya sendiri dengan semaksimal mungkin, sehingga bermanfaat bagi hidupnya, dan bagi masyarakat pada umumnya.

RUANG LINGKUP

Ruang lingkup penyelenggaraan pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global :

1. Lingkup situasi dan kondisi daerah adalah segala sesuatu yang terdapat di daerah tersebut yang berkaitan dengan lingkungan alam, sosial, ekonomi, seni dan budaya atau lainnya yang berupa hasil bumi, tradisi, pelayanan/jasa, tenaga kerja atau lainnya yang menjadi keunggulan suatu daerah.

2. Lingkup keunggulan lokal dan global, adalah mencakup potensi keunggulan lokal,

bagaimana mengelola, mengolah/mengemas, menggali, meningkatkan, mengoptimalkan, mempromosikan, memasarkan atau proses lainnya yang mampu menghasilkan nilai tambah bagi daerah sehingga dapat meningkatkan tarap hidup / kesejahteraan maupun Pendapatan Asli daerah (PAD) dan mampu bersaing secara global. Maka dipandang perlu Penyelenggaraan Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global dikembangkan di SD/MI, SMP/MTs/SMPLB DAN SMA/MA/SMALB

Sumber: http://dedidwitagama.wordpress.com

Pendidikan Berkarakter

Sekarang dunia pendidikan kita sedang heboh dengan slogan Pendidikan berkarakter. Saya sendiri telah mendengar dan sempat membaca beberapa blog pendidik yang membahas pendidikan berkarakter di Indonesia. Menakjubkan sebenarnya, karena ide pendidikan berkarakter sudah ada sejak lama sekali, sedangkan Indonesia baru terbelalak matanya diseputaran tahun 2007 [rujukan]. Dan di tahun 2010/2011, meski sangat terlambat, Kementerian Pendidikan Nasional kembali menggiatkan wacana pendidikan berkarakter untuk menuntaskan peliknya masalah pendidikan di Indonesia.

Seakan gagap dan terlena, ketika Pendidikan berbasis berkarakter disisipkan ke kurikulum dan silabus, sebagian pendidik kita kelabakan untuk menentukan pengertian karakter itu sendiri. Kegamangan guru-guru dalam menerapkan materi pelajaran yang disisipi pembentukan karakter siswa-siswi didiknya merupakan potret nyata bahwa selama ini pendidikan di Indonesia hanya pandai mencerdaskan otak, namun gagal dalam membentuk siswa yang berkarakter.

Fenomena yang menarik adalah ketika dunia pendidikan asyik menciptakan siswa-siswi cerdas dengan memberikan beban pelajaran super berat dan banyak, padahal dengan beban pelajaran yang tinggi, energi guru dan siswa terbuang percuma karena mereka sadar hanya 5 – 10 % siswa saja yang mampu mengikuti pelajaran dengan baik.

Hal ini tentu menjadi bumerang bagi dunia pendidikan Indonesia karena jelas-jelas mengabaikan 90% siswa dengan kemampuan dibawah rata-rata dan dianggap tidak memiliki nilai akademis tinggi. Bahwa dikatakan bumerang karena siswa dengan nilai akademis rendah dan sedang menempati porsi terbesar di negara Indonesia, maka yang terjadi adalah pendidikan Indonesia menciptakan jurang dikotomi terhadap hak-hak pendidikan yang layak bagi 90% komunitas ini.

Kebalikan dari negara Jepang, pendidikan di Indonesia justru menyiapkan seluruh siswa-siswi kita menjadi ahli pemikir dan ilmuwan. Sedangkan di Jepang, mereka sadar bahwa tidak semua siswa itu cerdas dan memiliki potensi yang sama. Kecerdasan bukan hanya potensi akademik, tapi ada beraneka ragam dimensi kecerdasan yang sifatnya konkrit, seperti ketrampilan, seni, olahraga dan kegiatan non akademik lainnya.

Kenyataan bahwa hanya ada 5-10% manusia cerdas ditiap negara membuat Jepang mempersiapkan pendidikan berkarakter untuk membentuk 90% siswa-siswinya yang merupakan penduduk mayoritas. Walhasil, negara Jepang kini menjadi negara maju dan disiplin bukan karena kecerdasan semata, tetapi karakter kuat dari penduduk mayoritas yang telah digembleng dalam masa pendidikan. Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Mengaca dari Program Pendidikan dari masa Orde Lama hingga sekarang, belum ada tanda-tanda perubahan berarti dari Pemerintah dalam mempersiapkan siswa-siswi kita menjadi manusia berkarakter kuat. Contoh konkrit salah satunya masih digunakan Ujian Nasional sebagai tolak ukur penilaian hasil belajar. Yang menjadi pertanyaan, karakter apa saja yang cocok untuk ditanamkan pada siswa-siswi kita?

Menurut UU no 20 tahun 2003 pasal 3 menyebutkan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter bangsa yang bermartabat. Ada 9 pilar pendidikan berkarakter, diantaranya adalah:

  1. Cinta tuhan dan segenap ciptaannya
  2. Tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian
  3. Kejujuran /amanah dan kearifan
  4. Hormat dan santun
  5. Dermawan, suka menolong dan gotong royong/ kerjasama
  6. Percaya diri, kreatif dan bekerja keras
  7. Kepemimpinan dan keadilan
  8. Baik dan rendah hati
  9. Toleransi kedamaian dan kesatuan

Nah, ke-9 karakter itulah yang dapat Bapak dan Ibu guru sisipkan dalam tiap pembelajaran dikelas. Semoga menjadi pencerah dalam menciptakan siswa-siswa berkarakter kuat dan amanah.

Sumber: http://disdik-lampung.info

Senin, 29 Maret 2010

Profil Sekolah

  1. Nama Sekolah : SDN 2 BUNIJAYA
  2. Nomor Identitas Sekolah (NIS) : 100160
  3. Nomor Statistik Sekolah (NSS) : 101020824018
  4. Alamat Sekolah : Kp. Warungkupa RT 04/RW 07 Ds. Bunijaya Kecamatan Gununghalu Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat Kode Pos 40565 Telepon 087824068024 email sdn2bunijaya@gmail.com
  5. Status Sekolah : Negeri
  6. Nama Yayasan : -
  7. Nomor Akte Pendirian/Kelembagaan : -
  8. Tahun Berdiri Sekolah : 1956
  9. Luas Tanah Sekolah : 930 m2
  10. Luas bangunan Sekolah : 449 m2
  11. Status Tanah : Hak Guna Pakai (HGP) 930 m2
  12. Status bangunan : Milik sendiri 449 m2
  13. Nomor Sertifikat tanah : -
  14. Status Akreditasi / Tahun : B/2010
VISI dan MISI:
  1. Visi Sekolah : CERDIK BERHATI (Cerdas, Disiplin, Kreatif, Bersih, Harmonis, Tertib, Inovatif)
  2. Misi Sekolah
Meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan sehingga kegiatan pembelajaran belajar efektif dan efisien. Menimbulkan dedikasi kerja yang tinggi berdisiplin dan cinta pada tugas. Mempertinggi budipekerti warga sekolah. Bunijaya, Desember 2011 Kepala Sekolah OOM ROMLAH NIP. 195508151975022002